ID | EN

Indahnya Akulturasi di Masjid Babah Alun

Masjid Babah Alun berada di kolong tol Pelabuhan dengan arsitektur oriental.

Jika Anda sering melintas di kolong Tol Pelabuhan, di kawasan Warakas, Tanjung Priok mungkin Anda sudah tidak asing dengan sebuah bangunan dengan gaya arsitektur oriental. Bangunan itu tampak kontras dengan wilayah sekitarnya yang padat penduduk. Dilihat dari luar, bagi orang yang belum tahu akan mengira bangunan tersebut merupakan klenteng atau vihara. Tapi siapa sangka, bangunan yang berdiri kokoh di kolong tol itu merupakan sebuah masjid.

Masjid Babah Alun didirikan oleh Jusuf Hamka, seorang mualaf keturunan Tionghoa yang tercatat sebagai Komisioner Independen PT Citra Marga Nusaphala Persada, perusahaan yang membangun sejumlah jalan tol di Indonesia. Nama Babah Alun juga diambil dari sosok sang pendiri. Babah berarti bapak, sedangkan Alun merupakan nama panggilan Jusuf saat kecil.

Arsitektur oriental pada masjid ini bukan tanpa alasan. Hal itu merupakan bentuk akulturasi antara kebudayaan China, Indonesia, dan Islam. Jika Anda melihat pintu masuk masjid tersebut, mungkin Anda akan teringat pada pintu perguruan Kungfu yang pernah Anda lihat di film. Tak seperti masjid umumnya yang berbentuk segi empat, masjid ini berbentuk segi delapan. Masjid Babah Alun berdindingkan relief berwarna hijau dengan motif oriental.  Kubah yang menjadi ciri khas masjid juga tidak ada. Ini karena lokasi masjid yang berada di kolong tol, sehingga tidak cukup untuk membuat kubah.

Di bagian teras masjid terdapat tulisan ‘Batas Suci’ disertai tulisan berbahasa Tionghoa di bawahnya. Dari sisi sejarah Islam, Masjid Babah Alun mengambil filosofi perjuangan para sahabat Nabi Muhammad SAW. Pertama, perjuangan Umar bin Khattab saat berdakwah di Palestina. Kedua, perjuangan Salahuddin Al Ayubi saat menaklukkan Spanyol.

Scroll To Top